Tuesday, March 27, 2012 |

Rencana Kenaikan BBM:Langkah Sempurna Pemiskinan Rakyat



Rencana kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) kembali digulirkan pemerintah tahun ini, setelah 4 tahun lalu pemerintah menaikkan harga BBM. Jika kita hitung-hitung akumulasi kenaikan BBM selama periode kepemimpinan SBY telah mencapai 200 persen. Suatu kenaikan yang sangat fantastis. Sementara resep bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp. 100.000 adalah bersifat sementara untuk memperlambat makin penderitaan rakyat.
Pemerintah dengan berbagai alasan melalui iklannnya dimedia massa (24/05) menyatakan bahwa akibat kenaikan harga BBM ditingkat internasional tidak dapat dihindari untuk menaikan harga di nasional, demikian juga bahwa harga BBM di Indonesia masih terlalu rendah. Padahal nyatanya harga BBM kita tidak terlalu murah. Jika dibandingkan dengan Malaysia Rp 5.310/liter. Rata-rata pendapatan per kapita di Malaysia sekitar 4 kali lipat dari negara kita.
Pada tahun ini rencana  kenaikan harga BBM disebabkan karena naiknya harga minyak mentah duniai, dari USD 69.5 menjadi USD 105 per barel, sehingga pemerintah mengasumsikan beban subsidi BBM dalam APBN semakin besar dan hingga mencapai 126,59 triliyun.
Alasan lain dari Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral menyatakan bahwa hal ini merupakan langkah menuju Indonesia bebas subsidi BBM pada tahun 2014, dengan alasan bahwa dengan harga mahal, maka orang akan “terpaksa” untuk menghemat BBM (www.bphmigas.go.id).
Menurut Ketua Departemen Politik Hukum dan Keamanan Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Rully Ardiansyah, rencana pembebasan subsidi BBM ini sejalan dengan kepentingan modal internasional dalam mendorong agenda liberaliasi sektor energi di Indonesia.
Menurut Rully, kebijakan ini ditujukan  kepada para pemilik modal dan korporasi internasional untuk mendominasi sektor energi nasional dari hulu ke hilir. Dalam rangka itu, sudah sejak jauh-jauh hari pula, melalui penerbitan UU No. 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, pemerintah berupaya agar harga BBM secara legal diserahkan kemekanisme pasar.
“Kebijakan menaikkan harga BBM bukan sekedar merespon situasi ekonomi global belaka.Namun tidak lepas dari penerapan sistem ekonomi neoliberal  di mana di seluruh sendi kehidupan masyarakat akan diliberalisasi dan diprivatisasi untuk memenuhi kebutuhan mekanisme pasar. Walau akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa kebijakan diatas adalah bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945, namun dalam prakteknya pemerintah tidak melaksanakan keputusan MK ini,” tegas Rully.
Alasan pengguna BBM adalah orang kaya terbalik dalam logika data dari Susenas BPS menunjukkan bahwa 65 persen bensin ternyata dikonsumsi oleh masyarakat kelompok miskin dan menegah bawah (pengeluaran per kapita< 4 dollar AS). Termasuk di dalamnya (29 persen) dikonsumsi oleh kelompok miskin (pengeluaran per kapita< 2 dolar AS). Sementara kelompok rumah tangga menengah atas dan kaya, atau rumah tangga dengan pengeluaran US$ 40 keatas hanya mengkonsumsi 8 persen dari seluruh bensin.
“Tidak bisa dibayangkan betapa makin berat beban masyarakat kelompok miskin dan menengah kebawah, jika awal April ini BBM kembali  dinaikkan. Sementara dampak Krisis ekonomi 2008-2010 sudah membuat rakyat semakin terpuruk dalam kemiskinan, kelaparan dan juga menyebabkan adanya peningkatan konflik agraria,” ujar Rully.
Oleh karena itu menurut Rully sangatlah gegabah bila Menko Perekonomian Hatta Rajasa bahkan berani mengatakan bahwa kenaikan BBM ini tidak akan merugikan masyarakat, dan bahkan subsidi yang diberikan untuk BBM ini bisa dialihkan untuk kepentingan masyarakat tidak mampu. Bagi petani, kenaikan harga BBM artinya juga kenaikan biaya produksi. Bagi petani kecil penyewa lahan, setidaknya biaya produksi selain benih dan pupuk juga meliputi harga sewa tanah, sewa traktor dan pompa air.
Pengalaman di tahun 2008, sewa tanah di Cirebon Jawa Barat naik 100%, yaitu dari Rp. 5 juta/ha/tahun menjadiRp. 10 juta/ha/tahun. Demikian juga pengolahan hasil panen seperti usaha penggilingan padi dan ongkos angkut atau transportasi.
“Misalnya Sebuah traktor tangan berkekuatan 8.5 PK membutuhkan solar sebanyak ±18 liter/ha sekitar Rp. 81.000 untuk pengolahan lahan sampai siap tanam yang memerlukan waktu ± 18 jam. Saat ini rata-rata sewa traktor antara Rp 400.000 hingga Rp 500.000 per hektar. Belum lagi bagi petani penyewa bias dipastikan sewa tanah akan naik. Artinya semua kenaikan ini akan dibebankan kepada petani, seperti yang sudah terjadi sebelumnya ditahun 2008 lalu,” jelas Rully.
Dampak rencana kenaikan BBM saat ini sudah dirasakan di beberapa daerah. Di Ponorogo bahkan petani yang ingin membeli solar dalam jumlah yang cukup besar tersebut untuk traktor dan perontok padinya harus mendapatkan surat ijin dari kepala desa. Hal ini karena dikhawatirkan bahwa petani akan menimbun bahan bakar menjelang kenaikan ini, mengingat solar dan BBM lainnya mulai sulit didapat seperti yang diungkapkan Ruslan, Ketua DPW SPI JawaTimur.
Sementara itu, skema kompensasi BBM seperti BLT hanya menjadi “pemanis” sementara dan tidak akan sanggup membantu masyarakat miskin dan menengah kebawah. Lagi pula BLT bukanlah proses pembangunan yang berkelanjutan bagi rakyat. Seperti pengalaman kenaikan bertahap BBM tahun 2005 dilanjutkan dengan kenaikan tahun 2008, hal ini hanya menjadi “pemanis” sementara di awal kenaikan BBM namun kedepannya akan menjerat rakyat dalam kemiskinan.
Didikte Bank Dunia
SPI menilai kenaikan harga BBM ini merupakan hasil dari asistensi langsung Bank Dunia. Hal ini terungkap dalam dokumen utang pemerintah Indonesia kepada Bank Dunia pada program energy and mining development, Loan No. 4712-IND mulai tahun 2003 hingga Desember 2008. Dimana program utang sebesar $ 141 juta USD, bertujuan untuk menghilangkan subsidi bahan bakar kepada rakyat.
Sehubungan dengan APBN, sebagaimana dapat disimak dalam rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004 – 2009, pemerintah sejak semula sudah merencanakan untuk menekan volume subsidi dari 6,7 persen Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2004, menjadi hanya 0,3 persen PDB pada 2009. Artinya, penghapusan subsidi BBM memang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari.
Dalam rangka itu, sudah sejak jauh-jauh hari pula, melalui penerbitan UU No. 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, pemerintah berupaya agar harga BBM secara legal diserahkan ke mekanisme pasar. Artinya kebijakan menaikan harga BBM bukan sekedar merespon situasi ekonomi global belaka. Namun tidak lepas dari sistem ekonomi neoliberal yang dipraktekan oleh para “mafia barkeley”. Dimana diseluruh sendi kehidupan masyarakat akan di liberalisasi, diprivatisasi dan dideregulasi untuk memenuhi kebutuhan mekanisme pasar untuk kepentingan pemodal. Hal ini juga terjadi pada kebijakan listrik, air dan pertanian. Khusus migas maka tidak aneh bila pada kenaikan BBM Oktober 2005 kemudian diikuti dengan dibukanya tempat pengisian bahan bakar milik TNC, seperti Shell dan Petronas di Indonesia.
Sumber:

0 comments: