BP REDD Plus Buka Suara Setelah "Kematian Tiba-tiba" akibat Perpres Jokowi
Kamis, 29 Januari 2015 | 16:15 WIB
KOMPAS.com - Badan Pengelola REDD+ menghadapi "sudden death" alias kematian tiba-tiba - demikian istilah Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+ - setelah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2015 yang diterbitkan Jokowi.
Peraturan tersebut menyatakan bahwa BP REDD+ dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dibubarkan. Tugas kedua badan tersebut selanjutnya akan dilaksanakan oleh direktorat jenderal dalam lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Rabu (28/1/2015) dalam pertemuan di Jakarta, Heru buka suara tentang pembubaran badan yang dipimpinnya sekaligus mengungkapkan sejumlah ketidakpastian dan tantangan program REDD+ dengan ketiadaan BP REDD+.
BP REDD+ sendiri dibentuk lewat Peraturan Presiden nomor 62 tahun 2013. Badan yang melaporkan penyelenggaraan REDD+ itu terbentuk setelah dua kali perkembangan embrionya sebagai Satuan Tugas REDD+.
Pembentukan BP REDD+ sesuai dengan Letter of Intent dengan pemerintah Norwegia pada tahun 2010. Indonesia berkomitmen menjalankan REDD+ sementara Norwegia berkomitmen untuk membantu Indonesia dalam pendanaan.
REDD+ berarti reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, plus pengelolaan hutan berkelanjutan dan peningkatan stok karbon. REDD+ digagas pada COP VIII United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bali tahun 2010.
Dalam Letter of Intent dengan Norwegia, dinyatakan perlunya lembaga independen yang bertugas menyelenggaran dan mengawasi program REDD+ serta langsung melaporkannya pada presiden.
Berdasarkan hal tersebut, Heru mengatakan bahwa pembubaran atau peleburan BP REDD+ dengan KLHK tidak sesuai dengan kesepakatan. "KLHK tidak memenuhi syarat seperti yang disebutkan dalam Letter of Intent," kata Heru.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bertugas menjalankan pemerintahan dalam lingkungan hidup dan kehutanan. Namun demikian, kementerian bukan lembaga yang secara independen bisa mengawasi program REDD+.
Kesepakatan dalam Letter of Intent tersebut bisa saja dibatalkan namun harus lewat persetujuan kedua belah pihak. Belum diketahui apakah pemerintah Indonesia sudah menghubungi Norwegia.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, mengungkapkan bahwa salah satu alasan pembubaran BP REDD+ adalah mengatasi tumpang tindih dan BP REDD+ pun selama ini banyak memakai tenaga dari kementeriannya.
Dalam pertemuan hari ini, Heru mengklarifikasi pernyataan Siti. "Badan REDD+ sesuai Perpres tahun 2013 hanya diperbolehkan punya 60 karyawan," kata Heru. Untuk menjalankan tugasnya, badan itu pun harus bekerjasama dengan institusi yang lain.
"Jadi agak missinform kalau KLHK mengatakan tenaganya berasal dari Kehutanan. Benar ada dari Kehutanan, tetapi tidak cuma itu cuma itu. Ada dari pertanian dan lainnya," ungkap Heru mengonfirmasi.
Setelah terbitnya Perpres 16/2015 pada 21 Januari 2015 lalu, BP REDD juga masih menghadapi ketidakpastian. Salah satu sebabnya, peraturan peralihan tidak membahas tugas badan tersebut.
"Peraturan peralihan tidak mengatur secara jelas, hanya menyebutkan seluruh jabatan yang ada beserta pejabat yang memakunya tetap melaksanakan tugasnya hingga pejabat baru terpilih," kata Heru.
Dengan begitu, ada dua asumsi. Pertama, BP REDD+ bisa tetap menjalankan fungsinya. "Itu yang super optimistic," cetus Heru. Kedua, BP REDD+ tidak ada lagi sehingga semua pejabat dan tugasnya ditiadakan.
Ketidakjelasan lain adalah soal nasib karyawan BP REDD+. Salah satu masalah utamanya, sejumlah pejabat BP REDD+ belum menerima gaji sepeser pun sejak berdirinya badan itu akibat keruwetan administrasi pendanaan.
Di atas semua ketidakjelasan, Perpres sudah tidak bisa dicabut. Heru yang sudah mengirim surat kepada Presiden terkait pencapaian dan program BP REDD+ meyakini bahwa Jokowi sudah membacanya.
"Saya menulis surat 4 halaman. Saya sebutkan apa yang sudah saya sampaikan kepada stakeholder tentang pencapaian dan rencana BP REDD+. Sudah masuk tanggal 20 Januari. Bahwa tanggal 21 Januari presiden tetapkan Perpres, artinya dia sudah inform," katanya.
Yang kemudian menjadi pekerjaan rumah sekarang adalah nasib program REDD+. Heru mengungkapkan, Indonesia punya posisi baik di dunia sebab telah meredefinisi konsep REDD+, bukan hanya fokus pada hutan tetapi juga biodiversitas dan masyarakat.
"Apakah kita akan tetap baik atau kepleset," tanya Heru. Dua langkah telah dilakukan Jokowi dalam pengelolaan hutan dan lingkungan, diantaranya menggabungkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, serta membubarkan BP REDD+ dan DNPI. Akankah caranya berhasil?
Repost from : http://sains.kompas.com/read/2015/01/29/16153311/artikel-detail-komentar-mobile.html
0 comments:
Post a Comment