FAKTA SALAH KELOLA SDA
artikel dibawah ini saya dapatkan ketika saya ikut suatu acara dari kampus. cukup membuat saya dan mungkin kita semua terhenyak karena begitu kaya nya Indonesia, tapi ternyata sayangnya masih salah dikelola atau belum dikelola secara optimal sehingga rakyat Indonesia yg seharusnya hidup makmur krn kekayaan negeri-nya malah sengasara hidupnya, serba sulitnya hidup yg msh dirasakan oleh banyak rakyat indonesia ini,, menimbulkan tanda tanya besar sebenanrnya APA YANG SALAH DENGAN NEGERI INI?? check it out..
Potensi SDA yang begitu besar itu belum berhasil mengentaskan seluruh rakyat negeri ini dari kemiskinan. Kita masih punya 21 juta penduduk miskin di Jawa, 8 juta di Sumatera, dan sekitar 8 juta tersebar di pulau-pulau lainnya. Kenyataan sulit hidup bahkan dialami oleh hampir semua warga, termasuk para pegawai negeri sipil dan anggota TNI berpangkat rendah. Mereka sulit membiayai pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Jadi, kemiskinan sebenarnya tak hanya yang berkategori “miskin” (mustahiq), faktanya mayoritas anak bangsa ini masih “susah hidup” (belum muzakki).
Kemiskinan adalah akibat dar pembangunan ekonomi yang tidak berhasil. Ekonomi riil tak cukup berkembang dan merata, sehingga tak cukup menyediakan lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan semua orang. Ini semua berasal dari cara pengelolaan SDA yang berbasiskan konsep kapitalis liberal, sekalipun dijalan oleh anak-anak negeri yang secara individu barangkali adalah anak-anak yang soleh dan santun.
Banyak sekali aturan, konvensi dan tradisi yang justru menghalangi akses anak negeri pada modal, teknologi dan pasar, sehingga mereka ibarat mati kelaparan di lumbung padi.
Para bankir Indonesia biasa menolak proposal usaha anak negeri, karena tidak punya modal awal atau agunan, sekalipun proposalnnya (yang terkait SDA) sangat prospektif. Ini berbeda dengan bank-bank asing yang siap memodali pengusaha asing yang ingin investasi di negeri ini, karena dapat dipastikan untung besar. Para bankir di negeri ini lebih suka menanam uang mereka di sertidfikat bank Indonesia, surat utang negara, atau berspekulasi di pasar modal. Mereka biasa memperlakukan uang sebagai komoditas, bukan menggunakan ilmu dan teknologi untuk memberi nilai tambah sumberdaya alam. Bsinis finansial yang “pasti untung” lebih disukai dibandingkan sektor riil yan “beresiko”.
Contoh, seorang warga Amerika yang menyewa tanah murah di suatu “pantai eksotik” di Nusa Tenggara. Ia membangun 20-an “cottages” tradisional, juga murah. Hasilnya US$ 800-1000 tiap cottages per malam, dan penerimaan total sekurang-kurangnya Rp. 50 milyar per tahun. mahal, sebab yang “dijual” adalah “aset keindahan” yang sangat unik, milik bangsa. Pengusaha untung besar, tetapi kabupaten hanya mendapat pajak kurang dari 1%, dan rakyat Cuma numpang bekerja seperti “budak”, mendapat UMR, dan tetap miskin.
Di sektor kehutanan atau pertambangan kondisinya lebih miris. Berpuluh juta hektar telah memberikan untung besar bagi pengusaha.
Di Riau, dengan ijin investasi perkebunan, seorang pengusaha asing langsung untung minmal Rp. 7,4 trilyun setelah mendapat konsesi 20.000 hektar. Menebas habis hutan endapat untung Rp. 400 juta per hektar, sedang membangun kebun hanya Rp. 30 juta per hektar. Jadi dia langsung untung Rp. 7,4 Trilyun, praktis tanpa modal.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh korporasi dunia untuk melobby para politisi negeri ini agar membuat “iklim investasi yang makin kondusif”, berupa aturan atau undang-undang yang membuat mereka makin legal dan bebas mengeruk kekayaan SDA. Walhasil makin hari makin banyak korporasi aing di negeri ini. Dari sektor hulu, seperti pertambangan emas, atau migas hingga hilir seperti pasar retail. Jika ada pengusaha pribumi atau BUMN/BUMD ikut serta, tak sedikit yang harus berhutang ke bank-bank di Luar negeri untuk membayar ahli dan teknologi asing. Sedang anak negeri cukup puas dengan pajak yang dibayarkan korporasi asing itu. Pada saat yang sama, lingkungan kita makin rusak teknologi tidak makin kita kuasai, dan hutang luar negeri kita makin bejibun.
Pada saat yang sama, melalui pemberitaan maupun acara hiburan di media ditontonkan kepada kita kekusutan birokrasi dan manajemen pemerintahan kita, versus efisiensi birokrasi dan manajemen di negara maju. Hasilnya, kita makin rendah diri pada kemampuan dan produk anak bangsa, dan makin terkagum-kagum pada produk luar negeri.
Kita secara sadar atau tidak, sedang membiarkan untuk dijajah lagi, langsung atau tidak langsung, melalui undang-undang.